Laman

UPAYA MEMAHAMI AGAMA BERDASARKAN PEMAHAMAN ULAMA AHLUSSUNNAH WALJAMA'AH SALAFUSSHOLEH, >>> TAHU, FAHAM, AMALKAN,>>

Sabtu, 06 Agustus 2016

sahabat berhentilah merokok

dahulu saya juga perokok berat, sekarang ternyata bisa berhenti, karena niat ingin berhenti.
sahabat,, ini adalah renungan untuk kita semua, kita adalah ummat yang Rahmatan lil alamin, memberi kasih sayang kepada seluruh alam,
keberadaan kita di pentas bumi ini, harus menjadi manfaat bagi sekitar,
keberadaan kita harus memberi contoh yang baik kepada generasi muda,
keberadaan kita harus menjadi pelindung ummat, bukan memper cepat matinya ummat dengan rokok,
( secara causality ) bukan soal Taqdir, Taqdir Allah segalanya yang mengatur,
perbuatan manusia seperti merokok, dampaknya merugikan diri sendiri dan orang lain,

  • Paru paru terkontaminasi racun dari rokok
  • kesehatan aakan cepat atau lambat, akan ada akibat nya 
  • orang lain merasa tergangu dengan asap rokok yg kita keluarkan, ( menzolimi orang lain )
  • malaikat merasa terganggu dengan segala sesuatu yang mengganggu anak adam,
  • jika belum berhenti, syafaat para Auliya tidak akan sampai kepada orang yang merokok,


Kamis, 04 Agustus 2016

quran digital

1. Versi Standar (101 MB): Image mushaf, Terjemahan (lebih dari 20 bahasa), dan Tafsir (As-Sa’di, Ibnu Katsir, al-Baghawi, al-Qurthubi, at-Thobari tersaji dalam bhs Arab). DOWNLOAD
2. Paket Image Tajwid (61 MB): Memudahkan membaca sesuai tajwid karena adanya perbedaan warnanya dalam mushaf, DOWNLOAD.
3. Paket Murottal oleh Syaikh Muhammad Ayyub(recommended murottal bagi yang masih belajar membaca al-Quran, karena kejelasan beliau dalam makhorijul huruf dan tempo yang tidak cepat)

Senin, 01 Agustus 2016

mengenal makna Bid'ah


Mengenal Makna Bid’ah

Bismillah Ar-rahmaan Ar-rahiim.
Ada sekelompok golongan yang suka membid’ah-bid’ahkan (sesat) berbagai kegiatan yang baik di masyarakat, seperti peringatan Maulid, Isra’ Mi’raj, Yasinan Mingguan, Tahlilan dan lain-lain. Kadang mereka berdalil dengan dalih “Agama ini telah sempurna” atau dalih “Jika perbuatan itu baik, niscaya Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam telah mencontohkan lebih dulu” atau mengatakan “Itu bid’ah” karena tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam.  Atau “Jikalau hal tersebut dibenarkan, maka pasti Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam memerintahkannya. Apa kamu merasa lebih pandai dari Rasulullah?”
Mem-vonis bid’ah sesat suatu amal perbuatan (baru) dengan argumen di atas adalah lemah sekali. Ada berbagai amal baik yang Baginda Rasul Shollallaah ‘alaih wa sallam tidak mencontohkan ataupun memerintahkannya. Teriwayatkan dalam berbagai hadits dan dalam fakta sejarah.
1.  Hadits riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam berkata kepada Bilal ketika shalat fajar (shubuh), “Hai Bilal, ceritakan kepadaku amalan apa yang paling engkau harap pahalanya yang pernah engkau amalkan dalam masa Islam, sebab aku mendengar suara terompahmu di surga. Bilal berkata, “Aku tidak mengamalkan amalan yang paling aku harapkan lebih dari setiap kali aku bersuci, baik di malam maupun siang hari kecuali aku shalat untuk bersuciku itu”. 
Dalam riwayat at Turmudzi yang ia shahihkan, Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam berkata kepada Bilal, “Dengan apa engkau mendahuluiku masuk surga?” Bilal berkata, “Aku tidak mengumandangkan adzan melainkan aku shalat dua rakaat, dan aku tidak berhadats melainkan aku bersuci dan aku mewajibkan atas diriku untuk shalat (sunnah).” Maka Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda, “Dengan keduanya ini (engkau mendahuluiku masuk surga).”
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Al Hakim dan ia berkata, “Hadis shahih berdasarkan syarat keduanya (Bukhari & Muslim).” Dan Adz Dzahabi mengakuinya.
Hadits di atas menerangkan secara mutlak bahwa sahabat ini (Bilal) melakukan sesuatu dengan maksud ibadah yang sebelumnya tidak pernah dilakukan atau ada perintah dari Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam.
2.  Hadits riwayat Bukhari, Muslim dan para muhaddits lain pada kitab Shalat, bab Rabbanâ laka al Hamdu.
Dari riwayat Rifa’ah ibn Râfi’, ia berkata, “Kami shalat di belakang Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam, maka ketika beliau mengangkat kepala beliau dari ruku’ beliau membaca, sami’allahu liman hamidah (Allah maha mendengar orang yang memnuji-Nya), lalu ada seorang di belakang beliau membaca, “Rabbanâ laka al hamdu hamdan katsiran thayyiban mubaarakan fîhi (Tuhan kami, hanya untuk-Mu segala pujian dengan pujian yang banyak yang indah serta diberkahi). Setelah selesai shalat, Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda, “Siapakah orang yang membaca kalimat-kalimat tadi?” Ia berkata, “Aku.” Nabi bersabda, “Aku menyaksikan tiga puluh lebih malaikat berebut mencatat pahala bacaaan itu.”
Ibnu Hajar berkomentar, “Hadits itu dijadikan hujjah/dalil dibolehannya berkreasi dalam dzikir dalam shalat selain apa yang diajarkan (khusus oleh Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam) jika ia tidak bertentangan dengan yang diajarkan. Kedua dibolehkannya mengeraskan suara dalam berdzikir selama tidak menggangu.”
3. Imam Muslim dan Abdur Razzaq ash Shan’ani meriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata,
Ada seorang lali-laki datang sementara orang-orang sedang menunaikan shalat, lalu ketika sampai shaf, ia berkata:

اللهُ أكبرُ كبيرًا، و الحمدُ للهِ كثيرًا و سبحانَ اللهِ بكْرَةً و أصِيْلاً

Setelah selesai shalat, Nabi shollallaah ‘alaih wa sallam. bersabda, “Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi? Orang itu berkata, “Aku wahai Rasulullah, aku tidak mengucapkannya melainkan menginginkan kebaikan.” Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda, “Aku benar-benar menyaksikan pintu-pintu langit terbuka untuk menyambutnya.”
Ibnu Umar berkata, “Semenjak aku mendengarnya, aku tidak pernah meninggalkannya.”
Dalam riwayat an-Nasa’i dalam bab ucapan pembuka shalat, hanya saja redaksi yang ia riwayatkan: “Kalimat-kalimat itu direbut oleh dua belas malaikat.”
Dalam riwayat lain, Ibnu Umar berkata: “Aku tidak pernah meninggalkannya semenjak aku mendengar Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda demikian.”
Di sini diterangkan secara jelas bahwa seorang sahabat menambahkan kalimat dzikir dalam i’tidâl dan dalam pembukaan shalat yang tidak/ belum pernah dicontohkan atau diperintahkan oleh Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam Dan reaksi Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam pun membenarkannya dengan pembenaran dan kerelaan yang luar biasa.
Alhasil, Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam telah men-taqrîr-kan (membenarkan) sikap sahabat yang menambah bacaan dzikir dalam shalat yang tidak pernah beliau ajarkan.
4. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, pada bab menggabungkan antara dua surah dalam satu raka’at dari Anas, ia berkata,
“Ada seorang dari suku Anshar memimpin shalat di masjid Quba’, setiap kali ia shalat mengawali bacaannya dengan membaca surah Qul Huwa Allahu Ahad sampai selesai kemudian membaca surah lain bersamanya. Demikian pada setiap raka’atnya ia berbuat. Teman-temannya menegurnya, mereka berkata, “Engkau selalu mengawali bacaan dengan surah itu lalu engkau tambah dengan surah lain, jadi sekarang engkau pilih, apakah membaca surah itu saja atau membaca surah lainnya saja.” Ia menjawab, “Aku tidak akan meninggalkan apa yang biasa aku kerjakan. Kalau kalian tidak keberatan aku mau mengimami kalian, kalau tidak carilah orang lain untuk menjadi imam.” Sementara mereka meyakini bahwa orang ini paling layak menjadi imam shalat, akan tetapi mereka keberatan dengan apa yang dilakukan.
Ketika mereka mendatangi Nabi shollallaah ‘alaih wa sallam, mereka melaporkannya. Nabi menegur orang itu seraya bersabda, “Hai fulan, apa yang mencegahmu melakukan apa yang diperintahkan teman-temanmu? Apa yang mendorongmu untuk selalu membaca surah itu (Al Ikhlash) pada setiap raka’at? Ia menjawab, “Aku mencintainya.”
Maka Nabi shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda, “Kecintaanmu kepadanya memasukkanmu ke dalam surga.”
Demikianlah sunnah dan jalan Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam dalam menyikapi kebaikan dan amal keta’atan walaupun tidak diajarkan secara khusus oleh beliau, akan tetapi selama amalan itu sejalan dengan ajaran kebaikan umum yang beliau bawa maka beliau selalu merestuinya. Jawaban orang tersebut membuktikan motifasi yang mendorongnya melakukan apa yang baik kendati tidak ada perintah khusus dalam masalah itu, akan tetapi ia menyimpulkannya dari dalil umum dianjurkannya berbanyak-banyak berbuat kebajikan selama tidak bertentangan dengan dasar tuntunan khusus dalam syari’at Islam.
Kendati demikian, tidak seorangpun dari ulama Islam yang mengatakan bahwa mengawali bacaan dalam shalat dengan surah al Ikhlash kemudian membaca surah lain adalah sunnah yang tetap. Sebab apa yang kontinyu dilakukan Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam adalah yang seharusnya dipelihara, akan tetapi ia memberikan kaidah umum dan bukti nyata bahwa praktik-praktik seperti itu dalam ragamnya yang bermacam-macam walaupun seakan secara lahiriyah berbeda dengan yang dilakukan Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam tidak berarti ia bid’ah (sesat).
5. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab at Tauhid. Dari Ummul Mukminin Aisyah radhiallaah ‘anhaa, bahwa Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam mengutus seseorang memimpin sebuah pasukan, selama perjalanan orang itu apabila memimpin shalat membaca surah tertentu kemudian ia menutupnya dengan surah al-Ikhlash (Qulhu). Ketika pulang, mereka melaporkannya kepada nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam, maka beliau bersabda, “Tanyakan kepadanya, mengapa ia melakukannya?” Ketika mereka bertanya kepadanya, ia menjawab “Sebab surah itu (memuat) sifat ar-Rahman (Allah), dan aku suka membacanya.” Lalu Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda, “Beritahukan kepadanya bahwa Allah mencintainya.” (Hadis Muttafaqun Alaihi).
Demikianlah, apa yang dilakukan para shahabat itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi shollallaah ‘alaih wa sallam, namun kendati demikian beliau membolehkannya dan mendukung pelakunya dengan mengatakan bahwa Allah mencintainya.
Semoga bermanfaat.

Hukum Tahlilan menurut Madzhab Imam Syafi'i

HUKUM TAHLILAN (KENDURI ARWAH - SELAMATAN KEMATIAN ) MENURUT MADZHAB IMAM SYAFI’I


TAHLILAN (KENDURI ARWAH – SELAMATAN KEMATIAN) MENURUT MADZHAB IMAM SYAFI’I
Disertai Komentar ‘Ulama Lainnya Tentang Membaca al-Qur’an Untuk Orang Mati

MUQADDIMAH

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Masyarakat muslim Indonesia adalah mayoritas penganut madzhab Imam Syafi’i atau biasa disebut sebagai Syafi’iyah (penganut Madzhab Syafi’i). Namun, sebagain lainnya ada yang tidak bermadzhab Syafi’i. Di Indonesia, Tahlilan banyak dilakukan oleh penganut Syafi’iyah walaupun yang lainnya pun ada juga yang melakukannya. Tentunya tahlilan bukan sekedar kegiatan yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam, bahkan kalau ditelusuri dan dikaji secara lebih mendalam secara satu persatu amalan-amalan yang ada dalam tahlilan maka tidak ada yang bertentangan dengan hukum Islam, sebaliknya semuanya merupakan amalah sunnah yang diamalkan secara bersama-sama. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dalam menyebarkan Islam sangatlah bijaksana dan lihai sehingga Islam hadir di Indonesia dengan tanpa anarkis dan frontal, salah satu buahnya sekaligus kelihaian dari para ulama walisongo adalah diperkenalkannya kegiatan tahlilan dengan sangat bijaksana.

Tahlilan, sebagian kaum Muslimin menyebutnya dengan “majelis tahlil”, “selamatan kematian”, “kenduri arwah” dan lain sebagainya. Apapun itu, pada dasarnya tahlilan adalah sebutan untuk sebuah kegiatan dzikir dan bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaa. Yang mana didalamnya berisi kalimat-kalimat thayyibah,  tahmid, takbir, tasybih hingga shalawat, do’a dan permohonan ampunan untuk orang yang meninggal dunia, pembacaan al-Qur’an untuk yang meninggal dunia dan yang lainnya. Semua ini merupakan amaliyah yang tidak ada yang bertentangan dengan syariat Islam bahkan merupakan amaliyah yang memang dianjurkan untuk memperbanyaknya.

Istilah tahlilan sendiri diambil dari mashdar dari fi’il madzi “Hallalla – Yuhallilu – Tahlilan”, yang bermakna membaca kalimat Laa Ilaaha Ilaallah. Dari sini kemudian kegiatan merahmati mayyit ini di namakan tahlilan karena kalimat thayyibah tersebut banyak dibaca didalamnya dan juga penamaan seperti ini sebagaimana penamaan shalat sunnah tasbih, dimana bacaan tasbih dalam shalat tersebut dibaca dengan jumlah yang banyak (300 kali), sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Namun, masing-masing tempat kadang memiliki sebutan tersendiri yang esensinya sebenarnya sama, sehingga ada yang menyebutnya sebagai “Majelis Tahlil”, “Selamatan Kematian”, “Yasinan” (karena dimulai dengan pembacaaan Yasiin), “Kenduri Arwah”, “Tahlil”, dan lain sebagainya.

Tahlilan sudah ada sejak dahulu, di Indonesia pun atau Nusantara pun tahlilan sudah ada jauh sebelum munculnya aliran yang kontra, yang mana tahlilan di Indonesia di prakarsai oleh para ulama seperti walisongo dan para da’i penyebar Islam lainnya. Tahlilan sebagai warisan walisongo terus di laksanakan oleh masyarakat muslim hingga masa kini bersamaan dengan sikap kontra segelintir kaum muslimin yang memang muncul di era-era dibelakangan. Dalam bahasan ini setidaknya ada beberapa hal pokok dalam tahlilan yang harus dipaparkan sebab kadang sering dipermasalah. Untuk mempermudah memahami masalah ini yakni amaliyah-amaliyah masyru’ yang terdapat dalam tahlilan (kenduri arwah) maka bisa di rincikan sebagai berikut :

I. DO’A UNTUK ORANG MATI
II. SHADAQAH UNTUK ORANG MATI
III. QIRA’ATUL QUR’AN UNTUK ORANG MATI
PERMASALAHAN QAUL MASYHUR
HILANGNYA PERSELISIHAN DAN PENERAPAN DALAM TAHLILAN
IV. JAMUAN MAKAN PADA PERKUMPULAN KEGIATAN TAHLIL
PENJELASAN TERKAIT HADITS KELUARGA JA’FAR
PENJELASAN TERKAIT HADITS JARIR BIN ABDULLAH
Haramnya Niyahah dan Pengertian Niyahah
V. SEJAK DAHULU KALA DAN TERJADI DI MAKKAH JUGA MADINAH
VI. PENGHARAMAN TAHLILAN DILUAR AKAL SEHAT
Niyahah Versus Tahlilan
Bolehnya Menangisi Mayyit
Ma’tam Versus Tahlilan (Kenduri Arwah)
VII. PENTING : TIDAK SETIAP BID’AH DIHUKUMI HARAM (BID’AH BUKAN HUKUM)
LANJUT MASALAH BID’AH
Pendefinisian Bid’ah
VIII. PENTING : ALIRAN WAHABI SEBAGAI BID’AH MUHARRAMAH
IIX. BEBERAPA KOMENTAR ULAMA
al-Mughni lil-Imam Ibnu Qudamah al-Hanbali 
Al-Furu’ wa Tashhih al-Furu’, Imam Ibnu Muflah al-Maqdisi
Al-Inshaf fiy Ma’rifatir Rajih minal Khilaf, Imam ‘Alauddin al-Mardawi 
Al-‘Uddah syarh al-‘Umdah, Imam Abdurrahman bin Ibrahim al-Maqdisi al-Hanbali
Zadul Mustaqni’ fi Ikhtishar al-Muqna’, Imam Syarifuddin Musa al-Hajawi
Ar-Raudl al-Marbi’ syarh Zaad al-Mustaqni', Imam al-Bahuti al-Hanbali
Al-Bahr ar-Raiq syarh Kanz ad-Daqaid, Imam Ibnu Najim al-Mishri al-Hanafi
Muraqi al-Falah syarh Matn Nur al-Idlah, Imam Hasan bin ‘Ammar al-Mishri al-Hanafi
Al-Fiqhu ‘alaa Madzahibil Arba’ah, Syaikh Abdurrahman al-Jaziri
Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jami’ at-Turmidzi, Syaikh Abul ‘Alaa al-Mubarakfuri
Mirqatul Mafaatiih syarh Misykah al-Mashaabih, al-Mulla 'Ali al-Qarii

Madzhab Zaidiyyah (Madzhab Yang Lebih Dekat Ke 4 Madzhab)
- Naylul Awthaar, Imam Muhammad bin 'Ali asy-Syawkani 
- Subulus Salaam, al-Amir ‘Izzuddin Ash-Shan’ani 
IX. FATWA IBNU TAIMIYAH DAN IBNUL QAYYIM AL-JAUZIYYAH
QS. an-Najm Ayat 39 dan Hadits Terputusnya Amal
Hukum Keluarga al-Marhum membaca al-Qur’an Untuk Mayyit
Ibnu Taimiyah Pernah Ditanya Hal Yang Sama (al-Qiraa'ah lil-Mayyit)
Bertahlil 70.000 Kali Dan Menghadiahkan Kepada Mayyit

Pasal Khusus Tentang Membaca al-Qur’an Untuk Mayyit
Ibnu Taimiyyah Hanya Bicara Soal Keutamaan (Afdlaliyah)
Penuturan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (Murid Ibnu Taimiyah)
X. KOMENTAR ALIRAN WAHHABIYAH
Polemik Seputar Ahkam at-Tamanni al-Mawt 
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Shalih bin Fauzan al-Fauzan
Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz
Muhammad bin Ibrahim bin Abdul Lathif Alu asy-Syaikh
Komisi Fatwa Kerajaan Bani Saud (al-Lajnah ad-Daimah)





Tata Cara Sholat Sebagaimana Diajarkan Nabi Shollallaahu ‘alaihi Wa Sallam Bagian 09

[Catatan Penting: Fasal-fasal yang kami jelaskan kali ini adalah penjelasan tentang tata cara sholat sebagaimana diajarkan oleh Nabi Shollallaahu ‘alaih wa sallam, yang mana tata cara ini sudah umum dilakukan oleh kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah. Dan bukan Pembahasan Mengenai Tata Cara Sholat Menurut Nashiruddin al-Albani]
Lanjutan Pembahasan Tata Cara Sholat Sebagaimana Diajarkan Nabi Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam.
10. Duduk di antara dua sujud
Duduk di antara dua sujud termasuk rukun dalam sholat, sebagai pemisah antara sujud pertama dengan sujud kedua. Caranya adalah dengan mengangkat kepala dari posisi sujud dibarengi dengan mengucapkan bacaan takbir dan berakhir ketika telah duduk secara sempurna, dan cara duduk yang dianjurkan adalah iftirasy yaitu duduk diatas kaki yang kiri dan meluruskan kaki yang kanan kemudian membaca do’a, sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam al-Ghazali di dalam Bidayah al-Hidayah:
“Kemudian bangkit dari sujud seraya mengucapkan takbir sehingga duduk dengan tegak. Duduklah di atas kaki kirimu dan luruskan kaki kananmu, letakkan kedua tanganmu di atas pahamu dan jari-jari diluruskan. Dan ucapkanlah:
(Tuhanku ampunilah aku, berilah aku rahmat, berilah aku rizki yang halal, berilah aku hidayah, berilah aku harta yang melimpah, berilah aku keselamatan dunia akhirat, dan hapuslah dosaku)” [Bidayah al-Hidayah, halaman: 46]
Sebagaimana juga disebutkan di dalam sebuah hadits shahih:
“Menceritakan kepada kami Salamah ibn Syabib, menceritakan kepada kami Zaid ibn Hubab dari Kamil Abi al-Ala’ dari Habib ibn Abi Tsabit dari Sa’id ibn Jubair dari ibn ‘Abbas bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam pada saat duduk di antara dua sujud beliau membaca: Ya Allah ampunilah aku, berilah aku rahmat-Mu, berilah aku harta yang melimpah, berilah aku hidayah dan berilah aku rizki.” (Sunan at-Tirmidzi, juz 1, halaman 478, hadits nomor 262)
11. Sujud Kedua
Setelah duduk di antara dua sujud secara iftirasy, kemudian melakukan sujud yang kedua. Dilakukan dengan kaifiyah yang sama dengan sujud yang pertama, baik dari sisi cara maupun bacaan dzikir yang diucapkan.
Berkaitan dengan sujud, tidak ada larangan untuk menggunakan tikar atau karpet sebagai alas. Karena tidak ada kewajiban untuk menyentuhkan dahi ke tanah secara langsung.
Berikut ini adalah hadits shahih tentang diperbolehkannya menggunakan tikar sebagai alas ketika mendirikan sholat:
“Telah menceritakan kepadaku Abu Sa’id  al-Khudriy bahwasanya ia masuk kepada Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia berkata: Aku melihat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam sholat di atas tikar, tempat dimana beliau bersujud di atasnya.” (Shahih Muslim, juz: 3, halaman: 102, Hadits Nomor: 807)
Di dalam kitab Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, imam an-Nawawi rahimahullah memberikan penjelasan tentang hadits tersebut diatas:
“Mengenai ucapan Abu Sa’id al-Khudriy: Aku melihat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam sholat di atas tikar, tempat dimana beliau bersujud di atasnya–
Hadits ini adalah dalil atas diperbolehkannya sholat di atas sesuatu yang menghalanginya dengan tanah dengan menggunakan kain, tikar, wol, dan kain panas dan yang selainnya. Dan demikian sama saja jika adanya tumbuhan diatas tanah ataupun tidak. Dan ini adalah madzhab kita (Syafi’iyyah) dan jumhur.”  (Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, juz: 3, halaman: 102)
Insya’ Alloh bersambung

Tata Cara Sholat Sebagaimana Diajarkan Nabi Shollallaahu ‘alaihi Wa Sallam Bagian 08

[Catatan Penting: Fasal-fasal yang kami jelaskan kali ini adalah penjelasan tentang tata cara sholat sebagaimana diajarkan oleh Nabi Shollallaahu ‘alaih wa sallam, yang mana tata cara ini sudah umum dilakukan oleh kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah. Dan bukan Pembahasan Mengenai Tata Cara Sholat Menurut Nashiruddin al-Albani]
Lanjutan Pembahasan Tata Cara Sholat Sebagaimana Diajarkan Nabi Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam.
9. Sujud Pertama di Setiap Raka’at
Sujud termasuk rukun di dalam sholat yang dilakukan setelah i’tidal dengan sempurna. Ketika turun untuk sujud disertai dengan membaca takbir dan tanpa mengangkat kedua tangan.
Di dalam kitab Bidayah al-Hidayah dijelaskan:
“Kemudian turun untuk sujud disertai membaca takbir namun tanpa dengan mengangkat kedua tangan. Yang pertama kali diletakkan di atas tempat sujud adalah kedua lututmu, kemudian kedua tanganmu, kemudian dahimu dalam keadaan terbuka, kemudian hidungmu dan dahi bersama-sama disentuhkan diatas tempat sujudmu.” (Bidayah al-Hidayah, halaman 46)
Penjelasan Imam Ghazali tersebut sesuai dengan hadits berikut ini:
“Diriwayatkan dari al-Hasan bin Ali dan Husain bin Isa, keduanya berkata: diriwayatkan dari Yazid bin Harun, meriwayatkan kepada kami Syariik dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari Wa’il bin Hujr, ia berkata: Aku melihat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam apabila bersujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. Dan ketika bangun dari sujud, mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” (Sunan Abi Dawud, juz 3, halaman 1 [713])
Sujud yang sah adalah ketika ketujuh anggota sujud diletakkan secara sempurna di tempat sujud. Dijelaskan di dalam kitab syarah Sullamuttaufiq mengenai tujuh anggota sujud ini: 
Kami tuliskan ulang kalimat yang tercantum di kitab tersebut:
“Sujud dua kali, dengan meletakkan dahi yang dalam keadaan terbuka ke tempat sujud dan agak ditekan, serta kepala posisinya lebih rendah (daripada pantat), meletakkan kedua lutut, kedua telapak tangan, dan bagian dalam jari-jemari kaki.” (Syarh Sullamuttaufiq, halaman 58)
Dan penjelasan tersebut sesuai dengan hadits shahih ini:
“Diriwayatkan dari Mu’alla bin Asad ia berkata: diriwayatkan dari Wuhaib dari Abdillah bin Thowus dari ayahnya dari ibn Abbas Radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata: bersabda Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam: Aku diperintahkan untuk sujud pada tujuh tulang anggota badan, dahi –Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan isyarat dengan tangannya ke arah hidung beliau–, kedua tangan, kedua lutut, dan jari-jemari kaki. Dan janganlah melipat baju maupun rambut (pada waktu sholat).” (Shahih Muslim, juz 3, halaman 298 [770])
Bagi laki-laki, posisi tangan direnggangkan. Sedangkan bagi perempuan adalah dengan merapatkan kedua tangan. Disebutkan di dalam hadits:
“Diriwayatkan dari Qutaibah bin Sa’id diriwayatkan dari Bakr bin Mudhor dari Ja’far bin Rabi’ah dari al-A’raji dari Abdiilah bin Malik bin Buhainah al-Asdiy ia berkata: bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam apabila bersujud merenggangkan kedua tangannya sehingga kami dapat melihat (lengan baju) di ketiak beliau.” (Shahih al-Bukhari, juz 11, halaman 399 [3300])
“Diriwayatkan dari Yazid bin Abi Hubaib, bahwasanya Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam berjalan dan bertemu dengan dua perempuan yang sedang sholat. Kemudian Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jika engkau sujud maka rapatkanlah sebagian daging ke tempat sujud, karena dalam hal ini perempuan tidak sama dengan laki-laki.” (Sunan al-Kubra al-Baihaqi, juz 2, halaman 223)
Dan ketika sujud wajib untuk tuma’ninah, dan disunnahkan membaca bacaan tasbih sebagaimana sunnahnya membaca bacaan tasbih di waktu ruku’. Adapun bacaan tasbih pada waktu sujud adalah:
“Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi dan dengan memuji kepada-Nya”
Di dalam kitab Kasyifatu as-Saja dijelaskan oleh Syeikh Nawawi al-Bantani:
Kami tulis ulang kalimat yang tercantum di kitab tersebut:
“Ke-sembilan adalah Sujud dua kali di setiap raka’atnya. Dan disunnahkan untuk mengucapkan di dalam sujud dengan bacaan: {Subhaana Rabbiyal-a’laa wa bihamdihi}” (kasyifatu as-Saja, halaman 68).

Wallahu a’lam.
Insya’ Allah bersambung.

Tata Cara Sholat Sebagaimana Diajarkan Nabi Shollallaahu ‘alaihi Wa Sallam Bagian 07

[Catatan Penting: Fasal-fasal yang kami jelaskan kali ini adalah penjelasan tentang tata cara sholat sebagaimana diajarkan oleh Nabi Shollallaahu ‘alaih wa sallam, yang mana tata cara ini sudah umum dilakukan oleh kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah. Dan bukan Pembahasan Mengenai Tata Cara Sholat Menurut Nashiruddin al-Albani]
Lanjutan Pembahasan Tata Cara Sholat Sebagaimana Diajarkan Nabi Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam.
8. I’tidal
I’tidal adalah berdiri kembali pada posisi semula setelah melakukan ruku’ secara sempurna. Ketika bangun dari ruku’ hendaknya mengangkat kedua tangan dan mengucapkan:
“Allah Ta’aala Maha Mendengar kepada semua hamba yang memuji-Nya.”
Mengenai tata cara i’tidal, di dalam shahih al-Bukhari disebutkan:
“Berkata Abu Humaid as-Sa’idi, aku senantiasa menjaga sholat bersama Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, aku melihat beliau apabila bertakbiratul-ihram, beliau mengangkat tangan hingga lurus pada dua pundaknya. Apabila ruku’ menempatkan kedua tangan di lutut kemudian meluruskan punggungnya. Pada saat I’tidal mengangkat kepalanya sehingga seluruh ruas anggota tubuhnya kembali ke posisi semula. Ketika sujud meletakkan kedua tangan, tidak dibentangkan atau dirapatkan, dan ujung jari-jemari kaki dihadapkan ke arah kiblat. Ketika duduk pada rakaat kedua, beliau duduk pada kaki kiri dan meluruskan yang kanan, dan pada saat duduk di rakaat terakhir, beliau memasukkan kaki kirinya dan duduk di lantai tempat tempat sholat.” (Shahih al-Bukhari, juz 3, halaman: 324 [785])
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Maslamah, dari Malik, dari Nu’aim bin Abdillah al-Mujmir, dari Yahya bin Khallad az-Zuraqi, dari ayahnya, dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi, ia berkata: Pada suatu ketika kami sholat di belakang Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, pada saat beliau Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bangun dari ruku’ beliau mengucapkan {Sami’allaahu liman hamidah} . Kemudian ada seorang laki-laki di belakang beliau Shollallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan: {Rabbanaa wa lakal-hamdu, hamdan katsiiran thoyyiban mubaarokan fiihi} . Maka setelah selesai sholat, Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Siapa yang mengucapkan kalimat tadi?’. Lelaki tersebut menjawab: ‘Saya’. Selanjutnya beliau Shollallaahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Sungguh aku melihat 30 malaikat saling berebutan untuk menuliskan pahalanya.’ “(Shahih al-Bukhari, juz 3, halaman 277 [757])
Pada saat posisi berdiri tegak, kedua tangan dalam posisi lurus ke bawah, tidak digerak-gerakkan maupun digoyang-goyangkan, dan tidak pula dengan posisi bersedekap.
“Diriwayatkan dari Waki’ ia berkata: diriwayatkan dari Abdussalam bin Syidad Abu Thalut al-Jariri, dari Ghazwan bin Jarir adh-Dhabbiy, dari ayahnya, ia berkata: bahwasanya Sayyiduna Ali Radhiyallaahu ‘anhu ketika beliau melaksanakan sholat meletakkan tangan kanan di atas pergelangannya. Dan hal itu terus dilakukan hingga beliau melakukan ruku’ kecuali untuk memperbaiki posisi pakaian serta menggaruk badannya.” (Mushannaf ibn Abi Syaibah, juz 2, halaman 401)
Dari hadits tersebut diketahui bahwasanya Sayyidina Ali Radhiyallaahu ‘anhu sebagai shahabat terdekat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dan banyak mengetahui sholatnya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau hanya bersedekap ketika berdiri sampai ruku’ saja.
Kalimat “فلا يزال كذلك حتى يركع” yang maknanya “Beliau senantiasa bersedekap hingga beliau ruku’” menunjukkan bahwa sampai batas itulah bersedekap yang dianjurkan di dalam sholat, karena tidak ada dalil yang menunjukkan kesunnahan bersedekap ketika I’tidal. Hal ini disebutkan oleh Syaikh Hasan bin Ali as-Saqafi di dalam kitabnya Shahih Sifat Sholat an-Nabi:
“Dan makruh bagi orang yang sholat kemudian ia meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di waktu I’tidal bangun dari ruku’, sebagaimana banyak dilakukan oleh sebagian orang-orang yang taklid buta. Sungguh tiada dalil atas hal yang demikian ini.” (Shahih Sifat Shalat an-Nabi halaman 163)
Selanjutnya setelah sempurna berdiri, disunnahkan untuk membaca do’a:
“Tuhan kami, bagi Engkau seluruh pujian sepenuh langit, bumi dan segala sesuatu yang Engkau kehendaki sesudah itu.”
Di dalam kitab Shahih Muslim, disebutkan hadits yang menjelaskan bacaan do’a tersebut:
“Meriwayatkan Abu Bakr bin Abi Syaibah, meriwayatkan kepada kami Abu Mu’awiyah dan Waki’ dari al-A’masy dari Ubaid bin al-Hasan dari ibn Abi Aufa ia berkata: Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam ketika berdiri dari ruku’ membaca:
” (Shahih Muslim, juz 3, halaman 16 [733])
Berdasarkan hadits tersebut, di dalam kitab Bidayah al-Hidayah, al-Imam al-Ghazali juga memberikan penjelasan:
“Kemudian angkatlah kepalamu hingga berdiri tegak. Dan angkat pula kedua tanganmu seraya mengucapkan { Sami’allaahu liman hamidah }. Dan ketika sudah tegak berdiri beliau membaca do’a {Robbanaa lakal-hamdu mil-us-samaawaati wa mil-ul-ardhi wa mil-u maa syi’ta min syai’in ba’du }.“ (Bidayah al-Hidayah, Halaman 46)
Khusus untuk sholat Shubuh, pada raka’at kedua setelah membaca do’a tersebut, disunnahkan untuk membaca do’a qunut. Imam al-Ghazali menjelaskan:
“Dan apabila engkau sedang sholat fardhu shubuh, maka hendaknya membaca do’a qunut di raka’at kedua ketika i’tidal dari ruku’.” (Bidayah al-Hidayah, halaman 46).
Membaca do’a qunut pada raka’at kedua sholat shubuh adalah sunnah di dalam madzhab asy-Syafi’iyyah, dan pendapat ini juga pendapat para shahabat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Di dalam kitab Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, imam Nawawi Rahimahullaahu Ta’aala menjelaskan:
“Di dalam madzhab kita (madzhab Syafi’iyyah) disunnahkan untuk membaca do’a qunut di dalam sholat shubuh. Baik ada bala’ maupun tidak, pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama salaf dan yang sesudahnya. Dan diantara yang berpendapat demikian adalah Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar ibn al-Khaththab, Utsman, ‘Ali, Ibn Abbas, dan al-Barra’ ibn Azib Radhiyallaahu ‘anhum. Demikian diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad Shahih.” (Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, juz 3, halaman 483)
Dalil yang dijadikan landasan pendapat ini adalah:
“Diriwayatkan dari Abdurrazzaq ia berkata, diriwayatkan dari Abu Ja’far (ar-Raziy) dari ar-Rabi’ bin Anas dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa membaca do’a qunut di waktu sholat shubuh hingga wafat beliau.” (Musnad Ahmad, juz 25, halaman 242[12196])
“Diriwayatkan dari Anas bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam membaca do’a qunut selama satu bulan kemudian beliau menghentikannya. Adapun di dalam sholat Shubuh beliau senantiasa membaca do’a qunut hingga wafat beliau.” (Sunan ad-Daruquthni, juz 4, halaman 399[1712])
Sanad hadits ini adalah shahih, sehingga dapat dijadikan hujjah. Imam Nawawi menjelaskan hal ini di dalam kitabnya Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab:
“Hadits yang diriwayatkan dari Anas adalah hadits shahih yang diriwayatkan dari banyak huffazh ahli hadits dan mereka menyatakan akan keshahihannya, diantara yang menyatakan shahih adalah al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi, al-Hakim Abu Abdillah di beberapa tempat di kitabnya dan al-Baihaqi. Dan diriwayatkan pula oleh ad-Daruquthni dari jalur ini dengan sanad shahih. Dari al-Awwam bin Hamzah ia berkata: `Aku bertanya kepada Abu Utsman mengenai bacaan qunut di dalam sholat shubuh. Beliau menjawab: ia dilakukan setelah ruku’. Aku bertanya lagi: Siapa yang menyatakan demikian? Beliau menjawab: dari Abu Bakr, Umar, Utsman radhiyallaahu ‘anhum.’ Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan beliau berkata: Sanad hadits ini Hasan. Dan meriwayatkan pula al-Baihaqi dari Umar  melalui jalur ini. Dan dari Abdullah bin Ma’qil seorang Tabi’in, ia berkata: `Sayyiduna Ali Radhiyallaahu ‘anhu senantiasa membaca do’a qunut di waktu sholat shubuh.` Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan beliau berkata: riwayat dari Sayyidina Ali ini shahih. Dan dari al-Bara’ Radhiyallaahu ‘anhu ia berkata: `Bahwasanya Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam membaca qunut di waktu sholat shubuh dan maghrib` –diriwayatkan oleh Muslim, dan juga oleh Abu Dawud namun beliau tidak menyebutkan kata “maghrib” di dalam riwayatnya.—Dan tidak mengapa meninggalkan qunut di waktu sholat maghrib dikarenakan ia bukan kewajiban’. ” (Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, juz 3, halaman 484)
Bacaan do’a qunut yang masyhur diajarkan langsung oleh Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam adalah do’a qunut yang diriwayatkan oleh Sayyiduna Hasan bin Ali bin Abi Thalib:
“Ya Allah, berikanlah kami petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. Berilah kami kesehatan seperti orang-orang yang Engkau beri kesehatan. Berilah kami perlindungan seperti orang-orang yang Engkau beri perlindungan. Berilah berkah terhadap segala sesuatu yang Engkau berikan kepada kami. Jauhkanlah kami dari segala kejahatan yang Engkau pastikan. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Menentukan dan Engkau tidak dapat ditentukan. Dan tidak akan hina orang yang Engkau lindungi. Dan tidak akan mulia pula orang-orang yang Engkau musuhi. Sungguh Engkau Sang Maha Pemberi Berkah dan Maha Luhur.” (Sunan Abi Dawud, juz 4, halaman 210).
Disebutkan pula di dalam Sunan an-Nasa’i dengan penambahan bacaan sholawat { وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ } di akhir do’a qunut. (Sunan an-Nasa’i, juz 6, halaman 259).
Dijelaskan pula oleh Syekh Nawawi al-Bantani di dalam kitabnya Maraqi al-Ubudiyyah bahwasanya dianjurkan untuk membaca sholawat kepada Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam di akhir do’a qunut.
“Akan tetapi lebih utama untuk membaca do’a qunut yang diajarkan oleh Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam:
Dan disunnahkan pula untuk membaca sholawat diakhir do’a qunut:
” (Maraqi al-Ubudiyyah)